<p style="text-align: justify;"> <span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify; font-family: " trebuchet="">                Jukung-jukung nelayan dengan layar terkembang bertaburan, kemilau diterpa sinar matahari senja. Pikiran I Wayan Lotring malah berdenyar-denyar liar. Jiwa maestro tabuh asal Banjar Tegal, Kuta, Badung, kelahiran 1887 itu menari-nari mengikuti nada-nada yang menggema di benaknya, tiada henti. Di rumahnya yang sederhana, di tepian Pantai Kuta dia terus gelisah memikirkan irama gending yang tiada henti menggedor-gedor relung rohnya. Di matanya terus membayang kotekan demi kotekan nan rancak tiada ubahnya irama garis sinar matahari senja.</span><span font-size:="" line-height:="" new="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify; font-family: " times=""> </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify; font-family: " trebuchet="">Dari pergumulan kreatif Lotring itulah kelak lahir gending palegongan Layar Samah, yang mengimajikan kemilau hamparan beraneka (samah) layar jukung di pantai. Namun belakangan orang lebih suka menyebut gending monumental ciptaan Lotring itu dengan Liar Samas, yang berarti 2.400 uang kepeng.</span><span font-size:="" line-height:="" new="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify; font-family: " times=""> </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify; font-family: " trebuchet="">Toh, Lotring tiada terganggu dengan sebutan orang lain. Sebab pragina yang menyerahkan segenap hidupnya pada seni tari dan tabuh, perhatiannya begitu dihabiskan untuk mencipta dan mencipta, tiada henti. Untuk kerja kreasi itu, dia kerap memetik inspirasi dari irama hidup sehari-hari. Manakala menyaksikan ikan hiu berlompatan di tengah samudra lepas, dia kemudian melahirkan gending Jagul. </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" trebuchet="">Ketika hatinya terusik melihat lelaki uzur berjalan terhuyung-huyung, pelatuk kreatifnya terpantik, menjadikan gending Kompyang.</span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" trebuchet="">Kreativitas Lotring sungguh tiada pernah putus sepanjang hayatnya. Itu menjadikan bila hendak menyebut alir tradisi palegongan di Badung orang tiada bisa melupakan gaya Lotring. Lotring memang mpu palegongan dengan gaya tersendiri, berpengaruh kuat dan luas. Bila Gianyar punya palegongan gaya Peliatan dan Saba, Karangasem punya Budakeling, maka Badung punya Lotring.</span><span font-size:="" line-height:="" new="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" times=""> </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" trebuchet="">Dia tidak pernah menotasikan gending-gending itu kecuali mencatatnya dalam-dalam di benak, di kedalaman rasa kalbu ini. Maka ketika gending itu dinilainya sudah jadi, dia pun dapat dengan mudah ''mengeja'', mentransfer mengajarkannya bagian demi bagian. Kerap di tengah-tengah khusyuk mengajar gending baru itu dia malah dapat menciptakan bagian yang baru lagi.</span><span font-size:="" line-height:="" new="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" times=""> </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" trebuchet="">Sekitar tahun 1906, dalam usia menjelang 20 tahun Lotring belajar tari Nandir di Puri Blahbatuh, dengan berjalan kaki pergi-pulang dari Kuta. Nandir ini kemudian berkembang menjadi Legong. Tari dan tabuh palegongan kelak dipelajari bersama Anak Agung Bagus Jelantik dari Saba, dari Anak Agung Rai Perit dan Dewa Ketut Belacing di Puri Paang, Sukawati, 1917.</span><span font-size:="" line-height:="" new="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" times=""> </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" trebuchet="">Tiga tahun berselang dia mendirikan sekaa palegongan di Kuta. Di sini dia menjadi ketua sekaa, yang kemudian melahirkan penari generasi pertama, seperti Ni Numbreg (Condong), Ni Wayan Dasni dan Ni Wayan Kinceg untuk Legong. Kinceg kelak menjadi istri Lotring dengan anak tunggal Ni Wayan Noni. Sekaa Lotring ini sempat diundang pentas ke Keraton Solo (1926), sehingga kelak dikenal sebutan Legong Keraton. Di sana dia sempat mengajarkan gending Goak Macok, namun sepulang dari Solo dia malah terkenang-kenang pada gaya menabuh orang Jawa di Keraton, lalu lahirlah Gonteng Jawa/Solo.</span><span font-size:="" line-height:="" new="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" times=""> </span><span font-size:="" line-height:="" style="color: rgb(85, 85, 85); text-align: justify;" trebuchet="">Setelah sekaa palegongan Kuta bubar 1929, Lotring sangat sibuk meladeni permintaan sebagai guru tari maupun tabuh. Tak cuma sekaa-sekaa di lingkup Badung, tapi meretas hingga Gianyar, Tabanan, Karangasem, hingga Buleleng di belahan utara Bali. Untuk itu dia kerap menginap berhari-hari, berbulan-bulan, dan pergi-pulang dalam jarak puluhan hingga ratusan kilometer kerap dengan berjalan kaki. Ia tak cuma melatih palegongan, tapi juga angklung, gender wayang, bahkan juga pajogedan, gandrung, hingga kekebyaran.</span></p> <p> (sumber : https://madepuji.blogspot.co.id/2016/10/i-wayan-lotring-alm.html)</p>
I Wayan Lotring, Lahirnya Gending Palegongan Layar Samah
07 Mar 2018